Calvin Verdonk Sebut Lebih Mudah Bela Rival Feyenoord Dibanding Musuh NEC Nijmegen

strategibola-pecinta sepak bola Eropa, khususnya Eredivisie, yuk merapat! Ada cerita menarik datang dari bek kiri yang kini jadi bahan omongan, Calvin Verdonk. Pemain yang sempat berseragam Feyenoord dan kini bermain untuk NEC Nijmegen ini ngeluarin pernyataan yang bikin banyak fans langsung duduk manis, geleng-geleng kepala, bahkan ada yang ngakak—soalnya jujur banget!

Dalam sebuah wawancara belum lama ini, Verdonk secara blak-blakan bilang:
“Lebih mudah bagi saya untuk membela rival Feyenoord daripada musuh NEC Nijmegen.”
Loh, maksudnya gimana tuh? Bukannya rival Feyenoord itu Ajax Amsterdam, salah satu musuh bebuyutan paling sengit di Belanda?

Nah, justru di sinilah serunya, gengs! Yuk kita ulik bareng-bareng kenapa Calvin bisa sampai ngomong begitu, dan apa sih artinya buat karier serta mentalitas pemain bola di Liga Belanda.

Anak Didik Feyenoord yang Kini Jatuh Hati pada Nijmegen

Calvin Verdonk bukan pemain kemarin sore di kancah sepak bola Belanda. Ia memulai karier profesionalnya di Feyenoord Rotterdam, klub besar yang terkenal sebagai “klub rakyat” dan punya rivalitas berdarah-darah dengan Ajax Amsterdam. Bersama Feyenoord, Calvin belajar banyak soal kedisiplinan, taktik, dan tentunya rasa bangga mengenakan jersey merah-putih.

Namun perjalanan hidup seorang pesepakbola itu nggak melulu mulus. Setelah beberapa kali dipinjamkan ke klub-klub lain dan mengalami pasang surut performa, Verdonk akhirnya berlabuh di NEC Nijmegen, klub yang mungkin nggak sebesar Feyenoord, tapi punya basis fans yang militan dan atmosfer yang akrab banget.

Yang bikin menarik adalah, selama berseragam NEC, Calvin benar-benar merasa seperti “di rumah”. Dia nemuin kenyamanan, kasih sayang dari fans, dan kebersamaan tim yang nggak dia rasain sebelumnya.

Lebih Mudah Bela Rival Feyenoord? Ini Alasannya!

Ketika ditanya soal kemungkinan bermain untuk klub rival Feyenoord di masa depan, Verdonk menjawab diplomatis tapi jujur:
“Saya mungkin lebih bisa membela Ajax Amsterdam daripada Vitesse Arnhem.”

Waduh, itu kan musuh bebuyutan NEC Nijmegen, klubnya sekarang! Ternyata, bagi Verdonk, rivalitas yang ia rasakan sebagai pemain NEC jauh lebih personal ketimbang rivalitas klasik antara Feyenoord dan Ajax.

Buat dia, NEC bukan sekadar tempat kerja, tapi rumah kedua. Atmosfernya, fansnya, dan emosinya terasa lebih dalam. Jadi ketika membayangkan harus membela Vitesse, klub yang lokasinya hanya sekitar 20 km dari Nijmegen dan punya sejarah permusuhan panjang, itu terasa “salah” banget buat dia.

Sedangkan Ajax? Meski rival utama Feyenoord, bagi Calvin itu lebih ke arah rivalitas historis, bukan emosional. Apalagi, dia nggak lagi di Feyenoord, jadi ikatan emosionalnya nggak sekuat ketika dia sedang memperjuangkan lambang di dadanya di De Kuip dulu.

Fanatisme di Liga Belanda Ternyata Sedekat Itu

Dari pengakuan Calvin ini, kita bisa belajar banyak soal sepak bola Belanda. Meski negara kecil, rivalitas antar klub bisa sekuat itu. Bahkan untuk klub yang secara nama dan prestasi nggak sebesar Ajax atau PSV, seperti NEC dan Vitesse, aura pertandingannya bisa sepanas derby Manchester atau El Clasico!

Pernyataan Verdonk juga nunjukkin bahwa loyalitas pemain bisa sangat berubah tergantung pengalaman pribadi mereka. Saat seseorang merasa dihargai dan dicintai di satu klub, wajar kalau dia merasa enggan membela musuh bebuyutan klub tersebut. Rasa setia itu bukan hanya soal kontrak atau uang, tapi lebih ke soal hati dan kenyamanan.

Ayo, Jangan Cuma Dengerin, Tapi Resapi!

Buat kalian yang suka sepak bola, cerita ini jadi pengingat penting bahwa dunia bola itu lebih dari sekadar skor dan trofi. Ada emosi, loyalitas, dan hubungan personal yang membentuk jalan karier seorang pemain.

Calvin Verdonk kasih contoh nyata gimana seorang pemain bisa tumbuh dan berubah seiring waktu. Bukan berarti dia nggak menghargai masa lalunya di Feyenoord, tapi sekarang hatinya udah nyantol ke NEC. Dan bagi dia, bermain untuk rival masa lalu (Feyenoord) mungkin lebih mudah ketimbang menyakiti hati fans yang sekarang dia bela dengan penuh cinta.

Penutup: Loyalitas Itu Bukan Soal Asal, Tapi Soal Rasa

Jadi, bro-sis, kalau suatu hari nanti kalian lihat Verdonk main untuk Ajax, jangan buru-buru nyinyir ya. Karena ternyata, bermain untuk “rival historis” nggak selalu lebih berat daripada bermain untuk “musuh emosional”.

Dan buat para pemain muda di luar sana, kisah Calvin ini bisa jadi pelajaran: karier itu penting, tapi jangan pernah abaikan kenyamanan dan rasa memiliki di dalam tim. Karena kadang, rumah terbaik bukan tempat kita lahir, tapi tempat kita merasa diterima sepenuhnya.

Comments are closed.