Strategibola – Turin kembali jadi panggung drama yang tak pernah habis. Dua pelatih datang silih berganti membawa harapan, lalu tersingkir dengan kisah yang sama-sama meninggalkan jejak. Thiago Motta dan Igor Tudor, dua nama yang sempat dipercaya memimpin Juventus, kini sama-sama menjadi bagian dari catatan singkat klub dalam mencari kestabilan yang belum juga datang.
Masa Singkat Thiago Motta: Ambisi Besar, Akhir Tragis
Ketika Thiago Motta ditunjuk memimpin Juventus, banyak yang berharap ia bisa membawa sentuhan progresif seperti yang ia tunjukkan di Bologna. Namun, realita Serie A yang keras dan tekanan publik Turin membuat segalanya berjalan jauh dari rencana.
Motta hanya bertahan delapan bulan. Dalam periode itu, Juventus seperti kehilangan arah. Kekalahan beruntun dari Atalanta dan Fiorentina membuat situasi semakin panas. Puncaknya datang saat tim tersingkir di Coppa Italia oleh Empoli dan di Liga Champions oleh PSV Eindhoven. Hasil buruk itu membuat kursinya tak bisa diselamatkan lagi.
Menurut laporan dari Sky Sport Italia, ruang ganti Juventus saat itu benar-benar pecah. Beberapa pemain senior mulai kehilangan kepercayaan terhadap metode Motta yang dianggap terlalu kaku. “Akhir dari masa Thiago Motta jelas traumatis,” ujar jurnalis Francesco Cosatti. “Ada tekanan besar dan suasana yang tidak kondusif, baik di dalam maupun di luar lapangan.”
Igor Tudor: Singkat, Tapi Tanpa Drama
Setelah Motta dipecat, Juventus menunjuk Igor Tudor sebagai pengganti sementara. Eks pelatih Marseille itu sempat memberi angin segar dan berhasil membawa tim finis di empat besar. Ia pun dikonfirmasi menjadi pelatih permanen setelah klub gagal merekrut Antonio Conte.
Namun, perjalanan Tudor pun tak panjang. Pada awal pekan ini, Juventus resmi mengumumkan pemecatannya. Meski demikian, suasana di klub tidak seburuk era Motta.
Menurut Cosatti, perpisahan dengan Tudor berlangsung tanpa konflik besar. “Dari sisi manusiawi, kepergian Tudor tidak terlalu dramatis,” ujarnya kepada JuventusNews24. “Ia masih memiliki hubungan yang sehat dengan para pemain hingga akhir.”
Salah satu bukti nyatanya datang dari kiper Mattia Perin. Seusai pertandingan terakhir, Perin memberikan dukungan terbuka kepada sang pelatih, sesuatu yang jarang terjadi jika hubungan di ruang ganti memburuk.
Perbandingan yang Menonjol
Dua pemecatan ini memperlihatkan dua wajah berbeda dari Juventus yang sedang mencari kembali jati dirinya. Thiago Motta terdepak di tengah badai—ruang ganti yang berantakan dan performa tim yang anjlok. Sementara Tudor, meski gagal memberi hasil maksimal, tetap meninggalkan klub dengan kepala tegak.
Perbedaan paling mencolok ada pada cara mereka mengelola kepercayaan pemain. Motta kehilangan kendali dan kepercayaan, sementara Tudor masih dihormati hingga detik terakhir.
Krisis Identitas Juventus
Bagi manajemen Juventus, dua pergantian pelatih dalam waktu singkat menjadi sinyal bahwa masalah utama klub tidak hanya soal taktik. Sejak krisis finansial dan skandal administratif beberapa tahun lalu, Juventus seperti kehilangan arah dan kestabilan.
Keputusan-keputusan cepat tanpa fondasi kuat hanya memperlihatkan bahwa proyek pembangunan kembali klub ini masih setengah matang. Dari Motta ke Tudor, hingga kini ditangani sementara oleh Massimo Brambilla dari tim Next Gen, Juventus masih terjebak dalam siklus coba-coba.
Masa Depan Masih Samar
Pertanyaan besar kini muncul: siapa yang akan memimpin Juventus berikutnya? Nama-nama seperti Antonio Conte, Zinedine Zidane, dan Roberto De Zerbi sempat disebut, namun belum ada kepastian resmi.
Satu hal yang jelas, Juventus butuh lebih dari sekadar pelatih baru. Mereka butuh stabilitas, arah yang konsisten, dan keberanian untuk membangun kembali budaya kemenangan tanpa mengorbankan keseimbangan ruang ganti.
Karena di Turin, seperti yang ditunjukkan Motta dan Tudor, hasil di lapangan hanyalah satu sisi dari cerita. Di balik itu, cara seorang pelatih menjaga harmoni dan kepercayaan pemain bisa menentukan apakah perpisahan terjadi dengan air mata atau dengan kepala tegak.






